Anak adalah Masa Kini dan Masa Depan: Urgensi Perlindungan Hak di Era Digital dan Dinamika Sosial Indonesia

Oleh: Miftahul Rahmah Tandraini (Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram)
Di tengah hiruk pikuk perkembangan zaman dan derasnya arus digitalisasi, satu hal yang tak boleh luput dari perhatian adalah suara yang sering kali tak terdengar: suara anak-anak. Mereka bukan hanya generasi penerus, tapi juga manusia utuh yang hidup di masa kini, dengan hak yang melekat sejak lahir. Namun, ironisnya, banyak dari mereka justru tumbuh dalam lingkungan yang belum sepenuhnya aman, nyaman, dan mendukung.
Indonesia sesungguhnya telah memiliki berbagai perangkat hukum dan kebijakan untuk menjamin hak anak, seperti Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan ratifikasi Konvensi Hak Anak oleh Persatuan Bangsa Bangsa (PBB). Namun pelaksanaan di lapangan sering kali luput dari semangat perlindungan. Kasus kekerasan terhadap anak, eksploitasi, seksual, keterbatasan akses pendidikan dan kesehatan, serta maraknya konten digital yang tidak ramah bagi anak anak, memperlihatkan masih lebarnya jurang antara regulasi dan kenyataan.
Era digital membawa tantangan baru yang lebih kompleks. Anak-anak kini menjadi sasaran algoritma, konten berbahaya. Bahkan hingga kejahatan siber seperti eksploitasi seksual secara daring dan perundungan digital. Banyak dari anak-anak kita yang mengakses teknologi tanpa pendampingan secara intens. Sementara itu, regulasi dan literasi digital bagi orang tua maupun pendidik belum cukup untuk melindungi mereka dari potensi akan bahaya tersebut.
Tak hanya itu, dinamika sosial pasca pandemi juga memperlihatkan dampak sistemik terhadap kesejahteraan anak. Kemiskinan yang meningkat, tekanan ekonomi keluarga, hingga ketimpangan layanan pendidikan yang menyebabkan banyak anak terjebak dalam lingkaran kelompok rentan. Anak-anak tak hanya rentan secara fisik, namun juga rentan secara psikologis dan emosional, terutama ketika suara dan kebutuhan mereka tidak benar-benar didengar.
Melindungi hak anak bukan sekadar urusan pemerintah, melainkan tanggung jawab bersama. Negara, masyarakat, keluarga, hingga sektor swasta harus membangun ekosistem yang aman, inklusif, dan berpihak pada anak. Sebab mereka bukan sekadar masa depan—mereka adalah masa kini yang hadir dengan harapan, potensi, dan hak untuk tumbuh dalam dunia yang adil dan penuh dengan kasih sayang.
Anak-Anak dan Realita yang Masih Kelam
Di balik narasi optimisme tentang generasi emas dan Indonesia Emas 2045, tersimpan kenyataan pahit: ribuan anak masih menjadi korban kekerasan, bahkan di lingkungan terdekat mereka. Dilansir dari Suara Kalbar, data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2023, terdapat 3.877 kasus pelanggaran terhadap perlindungan anak. Dari jumlah tersebut, 1.666 kasus terkait dengan perlindungan khusus, termasuk kekerasan seksual dan fisik.
Sepanjang tahun 2024, KPAI menerima 2.057 pengaduan terkait pelanggaran hak anak (KPAI+1Tempo.co+1). Dari jumlah tersebut, 954 kasus telah ditindaklanjuti hingga tahap terminasi, sementara sisanya diberikan layanan psikoedukasi dan rujukan ke penyedia layanan setempat. Pengawasan kasus dilakukan di 78 wilayah yang mencakup klaster Pemenuhan Hak Anak (PHA) dan Perlindungan Khusus Anak (PKA).
Dari total pengaduan tersebut, 265 kasus merupakan aduan kekerasan seksual terhadap anak. Dari jumlah ini, 53 kasus telah dilakukan pengawasan, sementara sisanya dirujuk ke lembaga layanan untuk mendapatkan pendampingan dan penanganan lebih lanjut (KOMPAS.com+1liputan6.com+1). Beberapa kasus kekerasan seksual bahkan terjadi di lembaga pendidikan atau lembaga pengasuhan alternatif yang seharusnya menjadi tempat anak menimba ilmu denga naman dan nyaman.
Mirisnya, data pengelompokan secara usia menunjukkan, balita usia 1–5 tahun menjadi kelompok usia dengan jumlah kasus tertinggi, yaitu 581 kasus. Disusul oleh kelompok usia 15–17 tahun (409 kasus), 6–8 tahun (378 kasus), 12–14 tahun (368 kasus), dan 9–11 tahun (342 kasus) (https://www.metrotvnews.com).
Komisioner KPAI, Ai Maryati Solihah, mengungkapkan bahwa meskipun terdapat tren penurunan kekerasan anak dari 2018 hingga 2024 (detiknews), terdapat peningkatan kerentanan pada anak laki-laki dan perempuan dalam dua tahun terakhir. Kekerasan pada anak laki-laki meningkat dari 37% menjadi 49%, dan pada anak perempuan dari 46% menjadi 51%.
Mengenal Hak-Hak Anak: Bukan Sekadar Teori
Menurut UNICEF Indonesia, hak anak bukanlah sebuah konsep yang abstrak. Hak anak adalah jaminan dasar yang wajib dipenuhi oleh negara, orang tua, dan masyarakat. Salah satu isu penting yang sering diabaikan adalah identitas hukum, hingga 2024, sekitar 17% anak Indonesia masih tidak memiliki akta kelahiran, yang menyebabkan mereka sulit mengakses layanan pendidikan dan kesehatan (UNICEF, 2024). Selain itu, data dari KPAI tahun 2024 mengungkapkan, pelanggaran terhadap hak-hak anak terus terjadi, dengan 2.057 pengaduan sepanjang tahun. Pelanggaran tersebut tidak hanya berupa kekerasan fisik dan seksual, tetapi juga pemenuhan hak ekonomi dan sosial, seperti akses terhadap pendidikan yang layak dan pengasuhan yang aman.
Hak-hak anak bukan sekadar teori yang indah di atas kertas. Ia adalah fondasi dari tatanan masyarakat yang adil dan manusiawi. Memahami hak-hak anak berarti membuka ruang partisipasi yang bermakna, memperkuat perlindungan hukum, dan memastikan bahwa setiap anak di Indonesia dapat hidup dengan aman, bermartabat, dan sejahtera. Bukan hanya di masa depan, tetapi mulai dari sekarang.
Memahami hak anak berarti lebih dari sekadar mengetahui pasal-pasal hukum, dalam arti menghadirkan ruang yang konkret bagi anak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sehari-hari mereka. Misalnya, mendengarkan suara anak dalam pengambilan keputusan di sekolah, melibatkan mereka dalam perencanaan kota ramah anak, hingga memberikan tempat aman bagi mereka untuk mengekspresikan pendapat, hobi, dan identitas diri mereka. Implementasi hak anak juga mencakup pemenuhan hak atas waktu luang, bermain, dan tumbuh dalam lingkungan yang sehat.
Lebih dari itu, menjadikan anak sebagai subjek hukum berarti negara dan masyarakat wajib menyediakan sistem perlindungan yang efektif. Artinya, ketika anak menghadapi kekerasan, eksploitasi, atau pengabaian, harus tersedia jalur pelaporan yang mudah diakses, layanan pendampingan yang ramah anak, serta sistem hukum yang berpihak pada korban yang mampu memberikan pemulihan secara menyeluruh. Ini bukan sekadar tugas KPAI atau lembaga-lembaga formal, tetapi juga tanggung jawab bersama.
Ketika kita semua gagal memenuhi hak anak, yang tercederai bukan hanya masa depan mereka, tetapi juga masa kini dan kita semua. Karena hak anak bukan hanya janji kepada generasi mendatang, melainkan komitmen terhadap nilai-nilai kehidupan itu sendiri. Mewujudkan perlindungan dan pemenuhan hak anak secara nyata adalah wujud keberpihakan kita pada kemanusiaan dan masa depan bangsa.
Teknologi: Musuh atau Sekutu?
Dalam era digital yang berkembang pesat seperti saat ini, pemenuhan hak-hak anak menghadapi tantangan baru yang lebih kompleks. Perkembangan teknologi, khususnya internet, telah membawa dampak besar dalam kehidupan anak-anak, baik secara positif maupun negatif. Di satu sisi, teknologi membuka peluang besar bagi anak-anak untuk mengakses informasi, berinteraksi dengan teman-teman mereka di seluruh dunia, serta mengembangkan keterampilan yang berguna untuk masa depan. Namun, di sisi lain, teknologi juga memunculkan risiko besar, seperti paparan konten yang tidak pantas, kekerasan siber, eksploitasi seksual daring, hingga perundungan online (cyberbullying).
Untuk itu, memahami hak anak dalam konteks perkembangan teknologi berarti kita harus memastikan bahwa anak-anak dilindungi dari potensi bahaya dunia maya, sambil tetap memastikan mereka dapat memanfaatkan teknologi dengan aman. Ini termasuk memberikan pendidikan literasi digital yang memadai, di mana anak-anak dapat belajar untuk mengenali potensi risiko di dunia maya dan bagaimana melindungi diri mereka sendiri terhadap ancaman digital.
Negara dan masyarakat juga perlu bekerja sama untuk menciptakan sistem perlindungan yang tidak hanya berbasis pada hukum konvensional, tetapi juga dapat mengakomodasi tantangan baru yang muncul seiring dengan perkembangan teknologi. Misalnya, memperkuat kebijakan yang melarang eksploitasi anak secara daring dan menyiapkan mekanisme pengawasan yang efisien terhadap konten digital yang dapat membahayakan anak.
Mengenali hak anak dalam era digital berarti memberikan mereka ruang untuk berpartisipasi dalam dunia teknologi dengan cara yang positif, sambil memastikan bahwa hak-hak dasar mereka, seperti hak atas privasi dan perlindungan dari kekerasan tetap terjaga. Sebagai bagian dari negara, kita harus memastikan bahwa teknologi tidak menjadi ancaman bagi mereka, tetapi justru menjadi alat untuk memperkaya pengalaman hidup mereka. Mewujudkan perlindungan dan pemenuhan hak anak di tengah kemajuan teknologi adalah bukti bahwa kita dapat beradaptasi dengan perubahan zaman tanpa mengorbankan masa depan generasi muda.
Kita Semua Penjaga Masa Depan
Sekali lagi, pemenuhan hak-hak anak bukanlah sekadar wacana atau teori yang tercantum dalam dokumen hukum, melainkan sebuah tanggung jawab bersama yang harus diwujudkan secara kolektif. Anak-anak adalah masa kini dan masa depan yang memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang aman, bebas dari kekerasan, diskriminasi, serta mendapat hak-hak dasar mereka, seperti pendidikan, kesehatan, dan perlindungan hukum.
Oleh karena itu, mengenali dan melaksanakan hak-hak anak adalah langkah penting untuk menciptakan generasi yang tidak hanya sehat dan cerdas, tetapi juga memiliki daya tahan dan kesadaran yang tinggi akan tantangan zaman yang ada. Dengan demikian, hak-hak anak bukan sekadar janji manis, akan tetapi komitmen bersama yang harus diwujudkan dengan tindakan yang konsisten dan berkelanjutan.
“Jika hari ini kita gagal melindungi mereka, maka esok kita akan menyaksikan dunia yang kehilangan nuraninya”