Menghapus Kekerasan Terhadap Anak dalam Keluarga: Tanggung Jawab Bersama Negara dan Masyarakat dalam Mendukung Pendidikan Inklusi

Oleh: Mardianty Anwar (Mahasiswi Universitas Islam Negeri Mataram)
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap anak merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang sangat mengkhawatirkan. Meski seharusnya keluarga menjadi tempat teraman dan penuh kasih sayang, kenyataannya banyak anak justru menjadi korban kekerasan di rumah sendiri. Dalam konteks pendidikan inklusif, setiap anak memiliki hak yang setara untuk tumbuh, belajar, dan berkembang dalam lingkungan yang aman, mendukung, serta bebas dari kekerasan.
KDRT terhadap anak bisa berbentuk kekerasan fisik, emosional, verbal, maupun penelantaran. Dampaknya tidak hanya dirasakan saat kejadian, tetapi dapat terus membekas hingga anak dewasa, memengaruhi kondisi psikologis, kemampuan sosial, hingga prestasi akademiknya. Banyak kasus kekerasan anak yang tidak terungkap karena dianggap sebagai urusan pribadi keluarga dan bukan tanggung jawab publik. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengubah cara pandang tersebut dan meningkatkan kesadaran bahwa kekerasan terhadap anak adalah tanggung jawab bersama. Negara memiliki peran penting dalam membangun sistem perlindungan anak yang efektif. Indonesia sebenarnya telah memiliki peraturan, seperti Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT. Namun, hukum saja tidak cukup tanpa tindakan nyata di lapangan.
Pertama, pemerintah perlu memperkuat lembaga seperti P2TP2A, menyediakan layanan konseling, perlindungan hukum, dan tempat aman sementara bagi korban anak. Kedua, perlu ada peningkatan edukasi dan sosialisasi tentang kekerasan anak, terutama kepada orang tua, guru, dan masyarakat luas. Hal ini penting agar masyarakat paham cara mengenali dan melaporkan kekerasan serta menyadari bahwa membesarkan anak tanpa kekerasan adalah hal yang bisa dipelajari dan dipraktikkan. Ketiga, koordinasi antar kementerian seperti Kementerian Pendidikan, Sosial, dan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak harus diperkuat agar kebijakan yang dibuat bersifat menyeluruh dan berdasarkan data yang akurat. Masyarakat juga memiliki peran penting dalam mengatasi KDRT pada anak. Tanpa partisipasi aktif masyarakat, upaya pencegahan kekerasan terhadap anak tidak akan maksimal. Sayangnya, masih banyak yang menganggap kekerasan dalam rumah tangga sebagai isu sensitif yang tabu dibahas. Oleh sebab itu, budaya kepedulian dan keberanian untuk bertindak perlu dibangun, agar siapapun yang melihat tanda-tanda kekerasan dapat segera melapor. Peran tetangga, guru, tokoh agama, hingga RT/RW sangat penting sebagai pelapor dan pencegah kekerasan. Selain itu, edukasi tentang pola asuh positif juga harus digencarkan agar orang tua bisa mendidik anak tanpa kekerasan.
Dalam pendidikan inklusif, kekerasan terhadap anak menjadi salah satu penghalang utama. Pendidikan inklusi bertujuan agar semua anak, termasuk yang berkebutuhan khusus, bisa belajar bersama di lingkungan yang mendukung. Namun, anak yang mengalami kekerasan kerap mengalami trauma, menarik diri, dan kesulitan dalam belajar. Untuk benar-benar mewujudkan pendidikan inklusif, kita harus memastikan anak merasa aman, baik di rumah maupun di sekolah. Pendidikan yang inklusif tidak akan tercapai bila masih ada anak yang datang ke sekolah membawa luka fisik atau batin. Menghapus kekerasan terhadap anak, terutama di lingkungan keluarga, bukan hanya tugas pemerintah, tetapi juga kewajiban kita semua. Negara harus hadir melalui kebijakan, pelayanan, dan pendidikan yang memadai, sementara masyarakat harus menjadi pelindung terdekat bagi anak-anak, tidak tinggal diam saat melihat kekerasan. (M-01)