DaerahOpini

ABK Dalam Bingkai Islam

Oleh: Ali Nurdin (Mengajar di SLBN 1 Sumbawa barat, Aktif di KKGPAI Sumbawa Barat & Sekolah Guru Indonesia (SGI) Sumbawa Barat)

Anak adalah anugerah terbesar dalam hidup sebuah keluarga. Seorang anak tidak hanya berfungsi sebagai pembeda zaman dari satu generasi ke generasi berikut. Tetapi anak juga memiliki peran strategis dalam memajukan suatu Negara.   

Terkait dengan itu, anak memiliki potensi dan karakter masing-masing. Tidak ada yang sama sekalipun kembar. Ada tipe anak yang berkelainan dan ada juga yang tidak. Yang berkelainan ini sering disebut dengan anak berkebutuhan khusus (ABK). Khusus dalam pelayanannya juga khusus dalam memperlakukannya. Sebab, ya itu tadi, si anak memiliki kelainan. Kelainan di sini bukan maksudnya, maaf – gila, tetapi ada yang sedikit kurang dibanding dengan anak yang tidak berkelainan. Walaupun nanti pada perkembangannya, keberhasilan ABK dapat melebihi. Ini tergantung dari peran orang tua dan lingkungannya dalam membentuk si anak.     

 Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) pada dasarnya memiliki kedudukan yang sama. Baik dalam kacamata agama (Islam) maupun Negara. Di dalam literatur Islam, anak memiliki beragam istilah. Thamrin Thalib, dalam Jurnal Studi Al-Qur’an berjudul Anak dan Janin Dalam al-Qur’an, membagi beberapa bagian. 

Pertama, Walad yaitu sesuatu yang dilahirkan. Kedua, Ibn adalah tahapan penyusunan dan kesempurnaan organ-organ tubuh sejak dalam kandungan hingga tumbuh dewasa. Ketiga, Shabi yaitu anak yang masih menyusui hingga menjelang baligh, keempat, Thib dimaknai anak yang berada dalam perkembangan fisik yang ringan, lunak, halus, lembut, belum kuat atau belum matang dalam melakukan sesuatu. 

Lebih jauh Islam juga menjamin hak-hak seorang anak. Termasuk diantaranya diberikan nama yang baik, mendapat persamaan, mendapat pendidikan. Hal ini sejalan dengan pasal 49 UU PA Nomor 23 bahwa Negara, Pemerintah, Keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan. 

ABK sesungguhnya harus mendapat perlakuan khusus. Sesuai dengan kebutuhannya. Sebagai tunanetra (buta) diberikan buku-buku braille dan tongkat sebagai penunjuk arah ketika berjalan, tunadaksa (kelainan fisik) diberikan kursi roda, dan sebagainya. Termasuk para pengajar dan pengelola sekolah yang benar-benar memahami ke-ABK-an. Sehingga dalam menjalankan sekolah-sekolah ABK, sesuai dan tepat penanganannya. Karena tahu betul apa yang menjadi keinginan ABK.  

Berbicara masalah perlakuan khusus, saya jadi teringat bagaimana seorang Nabi Muhammad Saw. saja mendapat teguran keras sang Khalik karena  tidak menghiraukan  seorang tunanetra yang hendak bertanya sesuatu. Meskipun saat itu beliau sedang menghadapi kaum kafir Quraisy yang sangat diharapkan keislamannya. (Q.S ‘Abasa: 1-10).

Memang tak seorangpun mau jika anak yang diidam-idamkan lahir dalam kondisi fisik dan mental tidak sempurna. Tapi bagaimanapun ia tetap seorang anak. Mau menolak, bagaimana caranya. Toh memang begitu adanya. 

Berpijak pada paparan di atas maka jelas bagaimana seharusnya kita bertindak. Sebab selama ini tidak sedikit kalangan yang belum memahami anak-anak berkebutuhan khusus. Termasuk orang tua yang notabene  yang melahirkan putra-putrinya. Tak jarang orang tua sengaja membuang ke panti asuhan. Entah dengan alasan apa pun,  mengurusi ABK adalah sesuatu yang luar biasa. Kita bisa belajar banyak dari mereka yang tidak kita miliki.  

Begitu juga bagi kalangan pendidikan. Tidak sedikit yang tidak mengerti dunia ABK. Sebagai akibat ABK merasa dianaktirikan dan diperlakukan semena-mena. Karena tidak memiliki kepekaan sosial terhadap ABK. Kalaupun memberikan bantuan tidak jarang salah sasaran.  Untuk menghindari kekhawatiran tersebut, maka diperlukan kemauan bersama dalam menangani ABK. Baik orang tua, dinas pendidikan, dan sekolah-sekolah. Sehingga tidak perlu ada diskriminasi dalam memberikan perlakuan. Maka hal ini sejalan dengan slogan, education for All. (M-02)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *