Demokrasi Hanya Cocok Untuk Warga Jakarta

Waktu menunjukkan pukul 20.00 WITA, itu adalah waktu screen time yang telah keluarga kami sepakati. Setiap orang punya interest masing-masing, seperti aku dan istriku yang suka dengan berita politik. Hampir sebulan usai Pilkada dilaksanakan, berita politik – khususnya Pilkada – masih membahas tentang kemenangan pasangan Pramono-Rano di Jakarta. Apakah kemenangan mereka berdampak bagi kami orang Sumbawa? Jelas tidak secara langsung, tapi bisa iya jika dilihat dari beberapa angle.
Kemenangan Pramono-Rano di Jakarta seakan memberi harapan besar bagi wajah demokrasi di Indonesia. Ini bukan tentang membela kubu A atau kubu B, tapi soal tingkat kepedulian dan tingkat pemahaman masyarakat terhadap demokrasi dan politik di negeri ini, mari kita bahas perlahan.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah merilis pemenang Pemilihan Gubernur 2024. Dikutip dari merdeka.com, pasangan yang diusung oleh Gerindra memenangkan 14 dari 38 provinsi. Disusul Golkar 8 provinsi, Demokrat 7, dan NasDem 6. Sementara kali ini PDIP hanya mampu mengamankan 5 provinsi. Sehingga muncul pertanyaan, mengapa partai besar seperti PDIP hanya mampu finish di posisi ke lima?
Dari data tadi, kita bisa berasumsi bahwa kemenangan besar dari partai-partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM), dipengaruhi oleh kekuatan dari pemerintahan pusat atau dikenal dengan istilah yang lebih populer yakni cawe-cawe.
Namun yang menarik adalah, dari kelima provinsi yang mampu diamankan PDIP salah satunya adalah DKI Jakarta, provinsi sebagai tempat pusat pemerintahan dan pusat peradaban di Indonesia.
Kemenangan tersebut juga tidak didapat dengan mudah, dua mantan pemimpin daerah harus turun gunung untuk ikut memberi dukungan. Survei exit poll Saiful Mujani Reasearch and Consulting pada 27 November 2024 menemukan dukungan Anies dan Ahok di detik terakhir menjadi alasan melejitnya suara Pramono-Rano di Jakarta.
Kemenangan partai oposisi di ibukota bukan hanya kali ini terjadi. Kemenangan Anies atas Ahok pada Pilkada sebelumnya juga merupakan tanda bahwa suara warga Jakarta tidak dapat “dibeli” dengan mudah oleh pemerintah.
Dalam proses memilih pemimpin, warga Jakarta masih mempertimbangkan beberapa hal. Seperti figure individu, karakter, visi misi, dan narasi yang dibangun oleh calon pemimpin. Warga Jakarta Nampak lebih kritis jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain.
Fakta lain yang dapat menjadi acuan adalah menurunnya tingkat partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak suaranya. Tingkat partisipasi pemilih pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta 2024 hanya mencapai 58 persen. Angka itu menurun dibanding saat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Mengutip dari laman resmi Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Wibi Andrino mengatakan, KPUD Jakarta harus mengevaluasi faktor penurunan indeks demokrasi dan partisipasi pemilih pada Pilkada Jakarta 2024. Ia khawatir, penurunan partisipasi pemilih di Pilkada berdampak pada kualitas demokrasi di Indonesia, khususnya di Jakarta.
Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara, Feri Amsari menilai anjloknya partisipasi pemilih di Jakarta tidak bisa dijadikan acuan bahwa kualitas demokrasi dan kesadaran politiknya rendah. Justru yang harus dilihat adalah mengapa ikut atau tidak ikut, bukan masalah kuantitas.
Dadang Nurjanna dari Lembaga survey Charta Politika menemukan alasan mengapa tingkat partisipasi masyarakat pada Pilkada Jakarta menurun. Diantaranya adalah rasa jenuh yang timbul di tengah masyarakat dan adanya sosok berpengaruh yang tidak muncul sebagai salah satu calon. Dadang menduga, dijegalnya mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan untuk masuk dalam daftar calon menjadi salah satu alasan kuat mengapa masyarakat Jakarta enggan menyalurkan hak pilihnya.
Dari fenomena ini, kita dapat menilai, masyarakat Jakarta lebih peka dengan isu-isu politik yang sedang berkembang. Kepekaan warga DKI juga dibarengi dengan tingkat kecakapan dalam menelaah informasi yang beredar. Berbeda dengan daerah lain yang masih rentang dengan penggiringan opini dan praktek money politik.
Demokrasi seharusnya diimbangi dengan tingkat kesadaran dan pemahaman politik yang kuat. Agar kekuatan one man one vote dapat digunakan dengan lebih bijak dan berhati-hati. Dengan kesadaran dan pemahaman poltik yang tinggi masyarakat diharapkan mampu menggunakan hak suaranya untuk memperjuangkan kepentingan bangsa, bukan individu maupun kelompok tertentu.
Imam Fauzan, Jurnalis Sumbawa Barat