DaerahOpini

Fenomena Dokter Asing Kuatkan Kapitalisasi Kesehatan

Oleh: Suryati (Muslimah Peduli Umat)

Gedung Fakultas Kedokteran (FK) Kampus Universitas Airlangga (Unair) Surabaya kebanjiran karangan bunga bernada dukungan untuk dr. Budi Santoso. Budi Santoso atau yang akrab dipanggil Bus sebelumnya dicopot dari jabatannya sebagai Dekan FK Unair. Pemecatan terjadi tak lama setelah ia menyuarakan sikap menolak rencana pemerintah mendatangkan dokter asing ke Indonesia. 

Setidaknya ada 30 lebih karangan bunga yang terpasang di depan gedung FK Unair. Seluruhnya bernada dukungan untuknya. “Turut berduka cita atas hilangnya demokrasi di dunia pendidikan #saveProfBus #untukIndonesiasehat Prodi Orthopaedi dan Traumatologi FK Unair Surabaya,” tulisan di salah satu karangan bunga. Dalam karangan bunga yang lain, “Dengan hati yang penuh duka, kami mengenang perjuangan dan dedikasi serta mendukung Pak Bus. Semoga keadilan segera ditegakkan. Hormat kami 08.”

Impor Dokter Asing Untuk Menyelamatkan Pasien?

Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin mengatakan, tujuan dokter-dokter asing didatangkan ke Indonesia bukan untuk menyaingi dokter lokal. “Bukan masalah saing-saingan, ini masalah menyelamatkan 300 ribu orang Indonesia yang kena stroke, 250 ribu yang kena serangan jantung, 6000 bayi yang kemungkinan besar meninggal tiap tahun,” kata Budi ketika ditemui usai rapat bersama komisi IX DPR di Jakarta. Dia menjelaskan bahwa hampir 80 tahun Indonesia merdeka, masih kekurangan tenaga spesialis dan yang paling banyak kosong adalah dokter gigi. 

Selain itu, distribusi juga kurang. Seperti 65% puskesmas di Daerah Terpencil Perbatasan Kepulauan (DTPK) yang mengalami kekosongan 9 jenis tenaga kesehatan. Oleh karena itu, pihaknya mendatangkan dokter dari luar negeri. Seperti yang dilakukan dalam kerja sama RSUP Adam Malik dan Arab Saudi untuk memberikan operasi bagi anak-anak Medan yang mempunyai penyakit jantung bawaan. Budi menilai upaya itu juga dapat mengakselerasi transfer ilmu bedah toraks kardiovaskular bagi dokter lokal. 

Sebelumnya, Budi mengatakan bahwa misi utama pemerintah mendatangkan dokter asing adalah untuk menyelamatkan sekitar 12 ribu nyawa bayi per tahun yang berisiko meninggal akibat kelainan jantung bawaan. Kemampuan dokter di Indonesia untuk melakukan operasi jantung baru berkisar 6 ribu pasien per tahun. Sementara penanganan kelainan jantung bawaan memerlukan tindakan operasi yang cepat. 

Budi yakin dokter Indonesia mampu mengatasi operasi jantung. Namun dengan laju kasus mencapai 6 ribu pasien per tahun, kuota dokter yang dimiliki Indonesia belumlah cukup. Menkes mengakui bahwa kebijakan itu, meskipun bertujuan untuk menyelamatkan lebih banyak nyawa bayi-bayi tersebut, belum sepenuhnya diterima oleh sejumlah pihak yang mengaitkan hal itu dengan kualitas layanan dokter asing dan domestik (antaranews.com, 08/07/2024).

Ironi Nakes

Rencana impor dokter asing telah lama diwacanakan pemerintah dengan berbagai dalih. Jika dulu pemerintah berdalih masuknya dokter asing agar rakyat tidak lagi berobat ke luar negeri, kini pemerintah beralasan bahwa Indonesia kekurangan dokter. Kebijakan ini sejatinya membuktikan gagalnya pemerintah mencetak SDM di bidang kesehatan yang berkualitas dan memadai. Padahal negeri ini tidak kekurangan SDM lulusan pendidikan kesehatan. 

Jika pemerintah fokus memberikan pendidikan yang berkualitas yang ditunjang oleh fasilitas pendidikan terbaik, maka tentu mereka akan berdaya di negeri ini. Bahkan negara tidak perlu membuka peluang bagi dokter asing bekerja di negeri ini. Sebab justru hal tersebut malah hanya menambah besar persaingan tenaga kerja dalam negeri yang berujung pada bertambahnya jumlah pengangguran.

Kebijakan ini dikeluarkan di tengah liberalisasi kesehatan, yang mengakibatkan biaya kesehatan semakin mahal dan sulit terjangkau oleh masyarakat luas. Kondisi ini wajar terjadi dalam negara yang menerapkan sistem kapitalisme sekuler. Sebab, dalam sistem ini kesehatan dan pendidikan adalah jasa yang wajib untuk dikomersialisasikan. Negara akan menghitung untung rugi ketika membuat kebijakan. Tak heran UU Kesehatan justru memberi jalan liberalisasi dan kapitalisasi kesehatan. Padahal persoalan kesehatan di Indonesia sebenarnya masih banyak dan sangat kompleks.

Aturan kesehatan dalam sistem kapitalisme tidak akan menawarkan upaya mewujudkan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan mudah bagi rakyat. Sebaliknya, justru merugikan kepentingan rakyat termasuk para tenaga kesehatan lokal. Inilah fakta buruknya pengurusan urusan rakyat di bawah penerapan sistem kapitalisme sekularisme.

Pandangan Islam

Berbeda halnya dengan sistem kesehatan yang diatur dalam sistem Islam dalam naungan negara khilafah. Islam memandang kehadiran penguasa (khalifah) sebagai pelaksana syariat secara kaffah yakni menjamin pelayanan kesehatan terbaik bagi seluruh warga negaranya, baik muslim maupun non-muslim, kaya atau miskin. Sebab dalam pandangan Islam, kesehatan adalah kebutuhan pokok publik yang menjadi tanggung jawab negara, bukan jasa untuk dikomersialisasikan.

Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja yang memasuki pagi hari mendapati keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memiliki bahan makan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya.” (HR. Bukhari). 

Sehingga apapun alasannya, tidak dibenarkan dalam khilafah ada program yang bertujuan mengomersialisasikan pelayanan kesehatan, baik dalam bentuk investasi atau menarik bayaran kepada rakyat untuk mendapatkan untung. Sebagai pelayan rakyat, negara bertanggung jawab sepenuhnya terhadap ketersediaan fasilitas kesehatan, baik dari segi jumlah, kualitas terbaik dengan para dokter ahli obat-obatan dan peralatan kedokteran yang dibutuhkan serta sebarannya hingga ke pelosok negeri.

Negara wajib mengelolanya secara langsung sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah sebagai penanggung jawab dan pengatur langsung kemaslahatan publik di Madinah, termasuk masalah kesehatan. Pembiayaan seluruh pelayanan kesehatan dalam khilafah tidak akan membebani publik, rumah sakit dan insan kesehatan sepeser pun. Pembiayaan pelayanan kesehatan tersebut diambil dari baitulmal yang jumlahnya sangat besar sebab diatur oleh sistem ekonomi Islam. 

Pun demikian pembiayaan sistem kesehatan ditunjukkan untuk pendidikan calon dokter. Sehingga tersedia dokter umum dan ahli secara memadai, juga lembaga riset, laboratorium dan industri farmasi. Pembiayaan apa saja yang dibutuhkan agar terjaminnya pelayan kesehatan gratis, berkualitas, terbaik dan mudah diakses siapapun, kapanpun dan dimanapun.

Para dokter dan insan kesehatan memiliki ruang yang memadai untuk mendedikasikan keahlian bagi kesembuhan dan keselamatan masyarakat. Tidak akan ada lagi beban agenda kesehatan dan persaingan dengan dokter-dokter asing. Karena negara akan mendahulukan pemanfaatan SDM dalam negeri. Inilah fakta jaminan kesehatan khilafah, buah dari penerapan syariat Islam kaffah yang bersumber dari Allah SWT. 

Wallahu a’lam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *